Siapa sih yang tidak mau sukses? Apalagi sukses dalam waktu yang relatif singkat. Para mentor bisnis kami selalu menggaungkan matra jitu “yang namanya orang sukses itu, kalo bisnisnya jalan dan ownernya bisa jalan-jalan” Nah, sekarang bagaimana dengan kita?
Banyak sekali pengusaha-pengusaha pemula yang ingin meraih kesuksesan dalam waktu singkat. Seperti hal saya yang di kala itu masih tergoda dengan yang serba mudah dan cepat. Saya ikuti semua saran dari mentor-mentor bisnis yang sudah berhasil. Mereka adalah role model saya memulai bisnis. Trik dan tips mereka untuk memperoleh modal dari bank dengan nominal yang besar membuat saya membelalakkan mata kagum.
Saya dan kawan-kawan berkolaborasi menjalanan aksi goreng rekening yang rencanakan untuk modal usaha. Berbekal data yang terlihat nyata di atas kertas, tak sedikit dari kami mendapatkan kucuran modal sebesar sepuluh digit. Ada yang memang awalnya memiliki usaha dan akhirnya dapat mengembangkan usahanya, akan tapi ada pula yang usahanya baru dalam angan-angan yang akhirnya “asal” membuka usaha dari modal yang semudah itu cair.
Begitu pula dengan saya, bukan hanya untuk menambah modal usaha dengan memanfaatkan KTA dan GESTUN, kami pun menjadi berani mengajukan proposal kepemilikan ruko. Ada sedikit kesombongan di hati saat memiliki ruko sebesar itu, kredit bank tak merisaukan kami. Kami percaya akan dapat membayar cicilannya tiap bulan.
Tiga bulan pertama, usaha kami menampakkan hasilnya. Pelanggan bertambah dari hari ke hari. Sang pencipta seakan meridhoi usaha kami. Hingga kami menambah lagi jumlah karyawan karena kewalahan melayani pelanggan yang membludak. Dengan omzet yang naik hingga tiga kali lipat, ternyata tidak disertai kenaikan profit. Rencana budget yang di awal kami kira cukup untuk membayar cicilan, ternyata meleset.
Mulailah keuangan kami goyah, profit minus membuat tabungan pribadi terpaksa ikut membantu menutupi kekurangan. Masuk bulan ke-enam, kami harus merelakan ruko kami disewakan ke pihak lain agar uang sewanya bisa untuk menutup cicilan. Dan ini juga yang membuat kami mem-PHK empat orang karyawan, sedih.
Tidak lama setelah itu, kami pada posisi tak sanggup bayar. Tagihan kartu kredit dan KTA juga mulai macet. Uang gaji juga mulai banyak yang digunakan untuk mensubsidi oprasioanal usaha kami. Saya rasakan ketidaknyamanan suasana di dalam rumah. Masalah yang tidak menyenangkan satu per satu muncul, pelanggan satu per satu hilang, peralatan usaha ada saja yang trouble, dan debt collector pun mulai akrab menyambangi rumah kami tiap bulan.
Dalam keterpurukan ini, datanglah ajakan seorang teman di WA grup untuk belajar tentang RIBA yang seblumnya kurang kami pahami. Setelah kami mempelajari dengan serius, seakan kami mendapatkan tamparan keras yang menyadarkan bahwa kehancuran usaha kami ini adalah RIBA. Ya RIBA, dari semua yang kami pakai untuk tempat usaha dan modal usaha, semuanya mengandung RIBA.
Dari kesadaran inilah kami berniat kembali ke titik nol, dengan bisnis tanpa riba. Memulai semuanya tanpa riba. Satu per satu kami melepaskan jeratan riba ini, kami tak takut hidup sederhana asalkan keluarga kami tidak memakan riba. Kami hanya mengharapkan keberkahan dan kebahagiaan yang hakiki. Intinya jangan ada RIBA dalam hidup kami. InsyaAllah.